OpiniTOP STORIESUncategorized

Membangun Intelektualitas Mahasiswa: Antara Idealisme dan Realitas Fasilitas Kampus

Tema inagurasi “Membangun Intelektualitas Mahasiswa: Menjadi Generasi Unggul melalui Academic Excellence and Academic Competition” di Universitas Kiai Haji Achmad Siddiq Jember tentu terdengar megah, intelektual, sekaligus penuh harapan. Tema ini menegaskan bahwa universitas memiliki visi menjadikan mahasiswa sebagai generasi unggul, tidak hanya melalui keunggulan akademik, tetapi juga dengan membiasakan diri berkompetisi secara sehat dalam ranah ilmiah. Namun, di balik semangat ideal yang diusung, terdapat ironi yang cukup mencolok: fasilitas yang tersedia untuk menunjang kegiatan akademik dan kompetisi justru tidak sepadan dengan klaim tema tersebut.

Ironi ini semakin terasa ketika mahasiswa dihadapkan pada kenyataan lokasi perlombaan yang terkesan asal-asalan dan jauh dari kata layak untuk sebuah acara universitas. Padahal, kompetisi akademik bukan sekadar ajang adu kecerdasan atau keterampilan, melainkan juga representasi keseriusan institusi dalam memberikan ruang tumbuh bagi potensi mahasiswa. Dengan demikian, kualitas penyelenggaraan, termasuk tempat, menjadi bagian penting dalam menciptakan atmosfer kompetisi yang bermartabat.

Paradoks Antara Tema dan Ruang

Mari kita lihat realitas yang dihadirkan. Cabang tilawah, misalnya, ditempatkan di lantai 3 Gedung Kuliah Terpadu. Secara fungsional, gedung ini memang dipakai sebagai ruang kuliah reguler. Akan tetapi, apakah ruangan kelas dengan akustik seadanya layak untuk sebuah perlombaan tilawah yang mengutamakan seni suara, kualitas lantunan, serta sensitivitas pendengaran juri dan penonton? Bukankah seharusnya tilawah mendapat tempat yang lebih representatif, seperti auditorium atau ruang dengan tata suara yang baik?

Hal serupa terjadi pada cabang debat dan tenis meja yang ditempatkan di lantai 2 gedung yang sama. Debat, sebagai ruang dialektika intelektual, semestinya diposisikan dalam ruangan formal dengan tata letak dan akustik yang mendukung penyampaian argumen. Sementara tenis meja, yang membutuhkan ruang lapang serta ventilasi memadai, justru dipaksakan berbagi gedung dengan kegiatan akademik lain.

Kemudian ada futsal yang dimainkan di lapangan depan FTIK. Untuk ukuran universitas, fasilitas ini lebih menyerupai lapangan darurat ketimbang sarana olahraga standar. Bahkan cabang tari harus dilaksanakan di parkiran FTIK. Tidakkah ini ironis? Seni tari yang menuntut ruang estetis, tata cahaya, dan panggung yang memadai justru diposisikan di ruang parkir, seakan-akan kampus tidak memiliki ruang yang pantas untuk menampilkan keindahan gerak budaya.

Kompetisi ilmiah seperti LKTI, yang notabene menjadi wajah intelektualitas kampus, ditempatkan di aula syariah. Walaupun aula dapat menampung peserta, suasananya tidak cukup kondusif untuk menampilkan atmosfer akademik bergengsi yang seharusnya melekat pada lomba karya tulis ilmiah tingkat universitas. Sementara itu, orasi ilmiah dilakukan di segitiga depan, sebuah area terbuka yang rawan gangguan, dari kebisingan lalu lintas hingga kerumunan mahasiswa yang lalu lalang.

MQK diselenggarakan di masjid belakang, yang secara fungsi sebenarnya merupakan ruang sakral untuk ibadah, bukan arena perlombaan. Adapun fashion show justru berakhir di lapangan depan FTIK, yang jauh dari standar pertunjukan seni dengan tata cahaya, panggung, dan fasilitas teknis yang memadai.

Excellence Hanya di Spanduk?

Di titik inilah muncul pertanyaan mendasar: bagaimana mungkin mahasiswa didorong untuk meraih academic excellence bila kampus tidak menyediakan ruang yang sepadan dengan cita-cita tersebut? Apakah excellence hanya sebatas slogan yang dipajang di spanduk inagurasi, sementara realitasnya mahasiswa dipaksa untuk berkompetisi di ruang parkir, aula seadanya, dan lapangan yang kurang memadai?

Jika keunggulan akademik dimaknai sekadar sebagai jargon, maka kompetisi hanya menjadi formalitas. Padahal, dalam dunia akademik, simbol ruang dan fasilitas memiliki makna yang dalam. Ruang parkir, segitiga jalan, atau lapangan darurat mungkin menunjukkan semangat improvisasi, tetapi di sisi lain juga menyingkap keterbatasan struktural universitas dalam membangun iklim akademik yang sesungguhnya.

Dari Academic Competition ke Academic Survival

Sebenarnya, mahasiswa patut diapresiasi karena tetap berkompetisi meski dalam kondisi fasilitas yang serba terbatas. Namun, apresiasi ini sekaligus menohok kampus. Bukankah ironis jika mahasiswa justru ditempa menjadi unggul bukan karena fasilitas kampus mendukung, melainkan karena mereka terbiasa bertahan dalam keterbatasan? Jika demikian, yang lahir bukanlah academic excellence, melainkan academic survival.

Mahasiswa belajar beradaptasi, mengakali keadaan, dan berprestasi meski kondisi tidak mendukung. Di satu sisi, ini bisa menjadi bukti daya juang mahasiswa. Tetapi di sisi lain, kondisi ini menunjukkan kegagalan institusi dalam menyediakan sarana yang seharusnya menjadi tanggung jawab dasar sebuah universitas. Excellence bukanlah hasil dari bertahan dalam keterbatasan semata, melainkan hasil dari dukungan ekosistem akademik yang selaras, termasuk fasilitas.

Jalan yang Perlu Ditempuh

Universitas harus mengambil pelajaran dari situasi ini. Jika benar ingin membangun generasi unggul, maka perlu ada konsistensi antara tema besar yang diusung dengan realitas yang ditampilkan. Mahasiswa tentu tidak anti dengan keterbatasan, tetapi mengulang pola yang sama dari tahun ke tahun hanya akan mengerdilkan makna dari setiap jargon yang dideklarasikan.

Investasi pada fasilitas akademik, perencanaan matang lokasi kegiatan, hingga komitmen menjadikan kompetisi ilmiah sebagai prioritas adalah langkah yang perlu ditempuh. Universitas tidak cukup hanya mengandalkan semangat mahasiswa, tetapi juga harus menyediakan panggung yang layak untuk semangat itu berkembang.

Penulis : Salman Alfarizy Husain

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *