Breaking NewsOpiniTOP STORIESUncategorized

Membangun Kesadaran Eko-Teologis dalam Akademisi sebagai Jawaban atas Kritik Konservatif dan Urgensi Aksi di UIN KHAS Jember

Kerusakan lingkungan hidup dewasa ini tak lagi dapat dipandang hanya sebagai permasalahan teknis ekologis. Di balik rusaknya ekosistem, punahnya spesies, dan makin ekstremnya bencana alam, terdapat krisis mendasar yang bersifat spiritual dan moral. Manusia modern kerap memosisikan diri sebagai pusat semesta, menjadikan alam semata objek eksploitasi tanpa mempertimbangkan dampak jangka panjangnya. Pandangan ini melahirkan relasi timpang antara manusia dan alam, yang kemudian menciptakan berbagai bentuk ketimpangan ekologis. Dalam konteks ini, ekoteologi hadir bukan hanya sebagai gagasan alternatif, tetapi sebagai koreksi etis dan teologis atas relasi destruktif tersebut.

Ekoteologi, atau teologi lingkungan, merupakan konsep yang menyatukan antara ajaran keagamaan dan tanggung jawab ekologis. Di tengah kritik sebagian teolog konservatif yang melihat isu lingkungan sebagai ranah sekuler yang tidak perlu diprioritaskan dalam teologi, justru pendekatan ekoteologis mengajukan narasi sebaliknya: bahwa menjaga dan merawat alam adalah bagian dari perintah ilahi. Tidak ada dikotomi antara urusan langit dan bumi, antara ibadah ritual dan tanggung jawab ekologis. Merusak alam sama halnya dengan menentang kehendak Tuhan yang menciptakan bumi dan mempercayakan pengelolaannya kepada manusia.

Dari hasil telaah bacaan yang saya pelajari, sangat terlihat bahwa hampir semua agama besar memiliki nilai-nilai ekologis yang kuat. Dalam Islam, konsep “khalifah fil ardh” (QS. Al-Baqarah: 30) menegaskan bahwa manusia adalah pemimpin di bumi yang bertugas menjaga, bukan mengeksploitasi. Ajaran Hindu mengenal Tri Hita Karana, yakni hubungan harmonis antara manusia, Tuhan, dan alam hanya sebagai fondasi kebahagiaan. Ajaran Budha mengajarkan karma phala, bahwa perbuatan merusak akan berbuah penderitaan, termasuk ketika alam membalas ulah manusia. Sementara dalam kekristenan, munculnya ekoteologi sebagai bagian dari etika sosial menegaskan bahwa cinta kasih tak hanya berlaku antar manusia, tetapi juga terhadap ciptaan Tuhan lainnya: hewan, tumbuhan, dan lingkungan.

Sayangnya, dalam praktik keagamaan masyarakat kontemporer, kesadaran ekologis ini sering kali tersisih. Dominannya pemahaman konservatif yang menjadikan agama sekadar urusan transendental dan akhirat, menjadikan nilai-nilai ekoteologi dianggap kurang relevan. Namun, pandangan ini menurut saya sudah tidak sesuai dengan konteks zaman. Ketika krisis iklim mengancam masa depan umat manusia, ketika hukum lingkungan seringkali kalah oleh kepentingan korporasi, maka ajaran agama justru harus hadir sebagai penegas moral publik. Kritik dari kalangan konservatif perlu ditanggapi secara dialogis, namun juga tegas: bahwa tanggung jawab ekologis tidak bertentangan dengan iman, justru adalah ekspresi iman itu sendiri.

Dalam ranah akademik, terutama di lingkungan kampus keislaman seperti UIN KHAS Jember, internalisasi nilai-nilai ekoteologi perlu dijadikan prioritas. Kampus bukan sekadar ruang transmisi pengetahuan, tetapi juga arena pembentukan nilai dan karakter. Mahasiswa, khususnya mahasiswa baru yang sedang berada dalam fase pencarian identitas, menjadi kelompok strategis dalam gerakan ini. Melalui orientasi akademik, mata kuliah moderasi beragama, hingga program-program konkret seperti gerakan tanam pohon, daur ulang sampah, dan penerapan prinsip green campus, nilai-nilai ekoteologi dapat dihidupkan secara holistik.

Penulis : IDRIS NAWAWI

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *