Breaking NewsOpiniTOP STORIES

Eko-Teologi di Kampus: Antara Retorika Langit dan Bumi yang Terluka

“Dan telah Kami ciptakan kamu dari tanah, kemudian Kami kembalikan kamu kepadanya, dan dari tanah itu pula Kami keluarkan kamu pada kali yang lain” (QS. Thaha: 55).

Ayat ini bukan sekadar narasi penciptaan. Ia adalah pengingat eksistensial bahwa manusia tidak bisa berdiri terpisah dari tanah, alam semesta adalah bagian dari jati dirinya. Maka ketika alam dirusak, sejatinya manusia sedang mengkhianati asal-usulnya sendiri. Namun ironisnya, di kampus-kampus yang mengajarkan ayat suci dan ilmu pengetahuan sekaligus, relasi manusia dan alam kerap direduksi menjadi hafalan, bukan penghayatan. Alam tidak lebih dari halaman belakang kampus yang terinjak setiap hari tanpa kesadaran spiritual.

Inilah ironi besar dunia akademik: kita membicarakan eko-teologi di ruang ber-AC, sambil mencetak sertifikat seminar berbahan plastik. Kita mengutip ayat tentang larangan merusak bumi, tetapi membiarkan jejak karbon tinggi dari pembangunan tanpa arah. Apakah ini bentuk ibadah atau justru pengkhianatan terhadap Sang Pencipta?

Eko-Teologi: Jalan Tengah antara Teologi Kering dan Aktivisme Kosong

Di tengah dominasi pandangan antroposentris, yang menempatkan manusia sebagai pusat segalanya—eko-teologi hadir membawa kritik tajam. Bila alam hanya dipandang sebagai objek pemanfaatan, maka krisis ekologi bukan sekadar risiko, melainkan warisan dosa kolektif. Sebab teologi yang hanya berbicara tentang langit, tanpa membela bumi yang diinjak, adalah teologi yang cacat secara etis.

Eko-teologi bukan sekadar filsafat hijau berbalut jubah agama. Ia bersandar pada teks-teks suci yang jelas: “Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi setelah Allah memperbaikinya” (QS. Al-A’raf: 56), serta sabda Nabi SAW: “Bumi itu hijau dan indah, dan Allah telah menempatkan kamu sebagai khalifah di atasnya…” (HR. Muslim). Ayat dan hadis ini bukan ajakan normatif, tetapi mandat struktural yang mewajibkan aksi nyata.

Kampus Islam dan Paradoks Ekologis

Sebagai kampus keagamaan, UIN KHAS Jember seharusnya menjadi pionir eko-teologi. Sayangnya, realitas berkata lain. Gedung-gedung terus tumbuh, tetapi tanpa sistem pengelolaan limbah yang memadai. Acara besar digelar, tapi meninggalkan tumpukan sampah plastik dan jejak karbon. Di sinilah teologi terjebak sebagai retorika kosong, bukan pedoman moral dan aksi transformatif.

Dosen dan akademisi tidak boleh sekadar menjadi penghafal teori. Mereka adalah pembentuk kesadaran publik. Jika di ruang kelas kita mengajarkan maqashid syariah, tetapi abai pada hifzh al-bi’ah (penjagaan lingkungan), maka itu bukan pendidikan, melainkan pemutusan konteks ajaran Islam. Di mana publikasi tentang fiqih lingkungan dari Fakultas Syariah? Di mana riset teologi keberlanjutan dari Fakultas Ushuluddin? Jika semua hilang, maka yang kita bangun bukan menara ilmu, tapi menara gading yang kosong dari moralitas.

Mahasiswa, Antara Suara dan Aksi

Mahasiswa tidak bisa hanya menjadi penonton. Jika mahasiswa masih membuang sampah sembarangan, acuh terhadap isu lingkungan, dan bangga hanya karena hadir di seminar, maka semua diskusi eko-teologi tidak lebih dari basa-basi kelas. Kampus membutuhkan mahasiswa yang aktif secara ekologis. Bentuk tim audit ekologis internal, evaluasi kebijakan pengadaan alat elektronik yang boros energi, dan jangan lagi ada seminar lingkungan dengan air mineral dalam kemasan sekali pakai.

Dema dan Sema sebagai lembaga formal mahasiswa tidak boleh hanya menjadi pelaksana seremoni. Ketika Indonesia kehilangan ratusan ribu hektar hutan setiap tahunnya (KLHK, 2024), maka seminar tanpa tindak lanjut adalah bentuk pengkhianatan akademik. Mahasiswa harus membuat forum kajian lintas jurusan, menerbitkan jurnal mahasiswa tentang spiritualitas ekologis, hingga berani menyampaikan nota keberatan terhadap pembangunan kampus yang tak ramah lingkungan. Menjadi anak kandung perubahan berarti bersedia berdiri di garis depan, bukan bersembunyi di balik poster.

Pimpinan Kampus, Keteladanan atau Gimmick?

Pak Rektor, para dekan, dan pimpinan lembaga: jangan jadikan program “Green Campus” sebagai jargon branding. Kami menunggu bukti: penghijauan berkelanjutan, audit energi tahunan, pengelolaan air limbah yang sistematis, dan kurikulum yang mengintegrasikan kesadaran ekologis di semua jurusan. Jika pimpinan kampus hanya sibuk dalam birokrasi tanpa visi ekologis, maka mahasiswa akan bergerak sendiri. Jangan tunggu kritik datang dari luar. Lakukan perubahan dari dalam, mulai hari ini.

Eko-teologi tidak boleh hanya hidup di ruang seminar. Ia harus hadir di kantin mahasiswa, taman kampus, ruang kuliah, bahkan di meja rapat rektorat. Jika kita tidak ingin mewariskan bumi yang rusak pada generasi mendatang, maka hari ini kita harus memulai jejak hijau, bukan menambah jejak karbon. “Mahasiswa Bersuara” bukan hanya tema acara, melainkan panggilan sejarah. Jangan diam. Suarakan, internalisasikan, dan wujudkan.

Penulis : Hefni Lutfi Ahmadi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *