Cerita Negara yang Melindas Warganya
Kita semua tentu masih ingat bagaimana Amerika Serikat terguncang pada 2020 gara-gara satu lutut polisi menindih leher seorang pria kulit hitam bernama George Floyd. Video itu tersebar ke seluruh dunia, memantik gelombang protes besar-besaran, dan membuat slogan “I can’t breathe” jadi jeritan global. Ironisnya, negara yang katanya kampiun demokrasi justru memperlihatkan betapa rapuhnya keadilan ketika aparat yang seharusnya melindungi justru menjadi algojo di jalanan.
Ternyata, negeri ini tidak jauh berbeda. Indonesia, yang sering berkoar sebagai negara hukum dan menjunjung tinggi keadilan, semalam justru mempertontonkan tragedi serupa. Affan Kurniawan, 21 tahun, seorang pengemudi ojek online yang hanya mencari nafkah, tewas mengenaskan terlindas kendaraan taktis Brimob di sekitar gedung DPR/MPR. Ia bukan provokator, bukan pula pengacau negara, hanya rakyat biasa yang sialnya berada di jalur salah di malam yang salah. Dan, seperti banyak kasus sebelumnya, aparat negara yang seharusnya menjaga justru berubah menjadi ancaman paling nyata.
Menurut teori Max Weber, negara sah karena punya monopoli penggunaan kekerasan. Tapi Weber mungkin lupa menambahkan catatan kaki: monopoli itu harus digunakan untuk melindungi, bukan untuk membunuh warga yang bahkan tak bersenjata. Kalau tidak, monopoli itu tak ubahnya premanisme berseragam. Kasus Affan adalah bukti bahwa negara bisa gagal total menjaga fungsi paling dasar: membuat warganya merasa aman.
Apa yang terjadi setelahnya pun tidak mengejutkan. Polisi buru-buru menyampaikan permintaan maaf, tujuh anggota Brimob diamankan, pejabat berbondong-bondong menyampaikan belasungkawa, dan janji investigasi transparan dikumandangkan. Tentu saja kita sudah hafal alurnya: semua akan transparan, semua akan diusut, dan pada akhirnya publik ditinggalkan dengan jawaban menggantung. Sementara itu, keluarga korban harus menanggung duka, dan ribuan pengemudi ojek online merasa bisa saja mereka menjadi Affan berikutnya.
Kematian ini bukan sekadar musibah, tapi sebuah simbol betapa rawannya posisi rakyat jelata di hadapan negara. Dari perspektif hak asasi manusia, tindakan aparat yang melindas warga sipil adalah pelanggaran serius. Komnas HAM bahkan sudah menyebut tindakan aparat tidak proporsional. Tapi kita tahu, di negeri ini kata “tidak proporsional” sering kali hanya basa-basi birokratis untuk menutupi fakta sederhana: aparat gagal mengendalikan diri.
Kasus George Floyd melahirkan gerakan Black Lives Matter di Amerika. Di Indonesia, komunitas ojek online kini mengibarkan solidaritas serupa. Ribuan orang mengantar jenazah Affan ke pemakaman, asosiasi ojol melayangkan lima tuntutan, dan mahasiswa mengheningkan cipta sebelum aksi. Jika negara masih menutup telinga, tidak mustahil tragedi Affan akan jadi pemantik perlawanan sosial yang lebih luas. Lagi-lagi, negara yang tidak mampu melindungi warganya justru sedang sibuk memproduksi musuh di dalam negeri.
Mari kita bicara serius: apa artinya negara hukum kalau hukum itu sendiri hanya berlaku ke bawah tapi tumpul ke atas? Apa artinya demokrasi kalau suara rakyat selalu kalah oleh suara kendaraan taktis? Apa artinya Pancasila dengan sila “Kemanusiaan yang adil dan beradab” kalau adab aparat di jalanan tidak pernah dijaga? Semua jargon itu terasa hambar ketika seorang anak muda meregang nyawa di bawah roda kendaraan yang dibeli dari uang rakyat.
Indonesia kini berada di titik genting. Negara bisa memilih untuk sungguh-sungguh menegakkan keadilan—bukan hanya demi Affan, tapi demi seluruh rakyat yang masih percaya bahwa negara ada untuk melindungi. Atau, negara bisa melanjutkan pola lama: janji manis, penyelidikan internal yang bertele-tele, lalu publik dipaksa lupa. Namun, jangan salah, rakyat tidak selalu punya ingatan pendek. Solidaritas yang lahir dari kemarahan bisa jauh lebih berbahaya daripada kerusuhan sesaat.
Tragedi Affan Kurniawan bukan sekadar kecelakaan. Ia adalah cermin betapa negara bisa berubah menjadi mesin yang melindas warganya sendiri. Dan kalau negara terus-terusan membiarkan hal ini, jangan salahkan rakyat kalau suatu hari mereka berhenti percaya. Sebab, tanpa kepercayaan rakyat, negara hanyalah kendaraan kosong—besar, bising, dan membahayakan siapa saja yang sial melintas di depannya.

